Tuesday, April 28, 2020

Bendera Jagad 'Alimussirry di Puncak Mahameru


Oleh: H. Mubarok
Dikutip langsung dari Majalah Waliyul ‘Azhim edisi 004, hal. 27-29
https://jagadalimussirry.com/majalah/

Berawal dari obrolan ringan dua santri disela-sela menunggu ustadz datang, mereka adalah ridwan dan fauzan yang berkeingan untuk muncak bareng. “fauzan, muncak yukk...” ridwan memulai obrolan dengan santai, “ayoook, nanti aku mau ngajak temen-temen jurusanku” saut fauzan dengan nada senang. “yaa, aku juga” jawab ridwan. Kemudian mereka melanjutkan obrolan sambil membahas tentang kitab ngaji, dan datanglah ustadz Muhib yang membuyarkan obrolan mereka.
Perbincangan mereka dilanjutkan dipertemuan ngaji selanjutnya. “jadi nggak yang mau muncak” fauzan mengawali pembicaraan” “pasti donggg” jawab ridwan. “muncak kemana nihh..?” sambung hisam yang tertarik dengan obrolan mereka berdua. “Semeru sam, gunung tertinggi di pulau jawa itu lhoo….”jawab fauzan. Kemudian mereka mulai merencanakan persiapan muncak dan menyebutkan nama-nama yang akan diajak muncak. Singkat cerita satu persatu dari list nama yang mereka ajak tidak bisa ikut, dan pada akhirnya hisam punya ide untuk mengajak temen-temen santri untuk naik gunung. Mereka yang berkesempatan bisa ikut yaitu bima, ilham dan candra.
Semua perlengkapan sudah mulai mereka cicil untuk dipersiapkan, mulai dari tenda, tas, sepatu sampai obat-obat P3K. Untuk sampai di puncak Mahameru membutuhkan waktu minimal dua hari dari basecamp. Sehingga jika di hitung pulang-pergi memakan waktu empat hari, ditambah perjalanan dari Surabaya ke Lumajang dua hari, total enam hari yang mereka butuhkan untuk bisa mendaki gunung Semeru.  Mereka mengatur jadwal sedemikian rupa, mengubah jadwal janjian dan rapat-rapat dengan temen-temen organisasi, layaknya pejabat yang ingin tugas ke luar kota, wwkwkwk…
30 Desember 2019, mereka berenam berangkat dari Surabaya, rute yang mereka pilih untuk ke Ranu Pani (basecamp sebelum pendakian) yaitu melalui jalur Malang, karena mereka masih membutuhkan pinjaman tenda ke teman bima di daerah kota batu. Perjalanan mereka tempuh dengan rasa khawatir hujan, karena sepanjang perjalanan diselimuti mendung hitam. Dan akhirnya mereka sampai di Ranu Pani jam 10 malam. Basic santri tetap melekat, walaupun di Ranu Pani disediakan tempat untuk beristirahat, mereka lebih memilih tidur di masjid, supaya shalat subuhnya lebih mudah dan enak untuk movingnya.
Senja mulai tampak, perlahan matahari mulai menyingsingkan sinarnya. Para pendaki mulai bersiap ke loket pembayaran dan briefing sebelum pemberangkatan. Sebelum memulai perjalanan, ridwan yang sudah berpengalaman mendaki gunung, memandu teman-teman untuk berdoa bersama dan memberikan pesan-pesan. “tujuan kita adalah pulang dengan selamat, puncak adalah bonus, tapi kita harus optimis tuk bisa sampai di puncak Mahameru dan mengibarkan bendera kita tercinta PPJA” Ucap ridwan dengan semangat, temen-teman dengan serentak menjawab Siap, Bismillah, insyaAllah puncak” seolah-olah sudah direncanakan kalimat itu muncul dari masing-masing lidah mereka. 


Keenam santripun berangkat dari Ranu Pani menuju Ranukumbolo, yang merupakan surga Mahameru, danaunya para dewa dalam keyakinan agama Hindu setempat. Track perjalanan ke Ranukumbolo tidaklah curam, akan tetapi jaraknya yang jauh membutuhkan waktu rata-rata pendaki 5-6 jam perjalanan. Tegur sapa dengan pendaki lain membuat perjalanan semakin asyikk, itulah yang dirasakan hisam dan candra yang merupakan pendaki pemula, tapi nekat langsung mendaki gunung tertinggi di pulau Jawa. Lalu lalang para pendaki layaknya semut yang saling memberikan motivasi dan semangat untuk terus melangkahkan kaki, walaupun rasa capek selalu membayang-bayangi otot-otot tubuh mereka.
Singkat cerita sampailah mereka di shelter pertama pendakian Semeru, yaitu di Ranukumbolo, yang bertepatan dengan malam pergantian tahun 2018 ke 2019. Hiruk pikuk kegembiraan meramaikan malam yang sunyi sepi di hutan, layaknya bumi perkemahan. Tanah lapang dipenuhi dengan tenda-tenda yang menghiasi cantiknya danau Ranukumbolo. Keesokan harinya kami melanjutkan perjalanan ke shelter kedua daerah Kali Mati, tempat yang jauh dari sumber air, perlu perjalanan dua kilometer untuk mendapatkan air yang alirannya tidaklah begitu deras. Tanpa air segala aktivitas akan terhambat, karena air menjadi kebutuhan primer para pendaki. Rasa sakit dan gelisa dialami oleh bima yang memiliki alergi dengan suhu dibawah normal, untuk menghidari rasa cemas dari teman-temannya, dia mampu menahan rasa sakit itu dan menyembunyikan dengan kata “tidak apa-apa, Cuma sakit perut biasa kok” ketika ditanya temennya saat dia tampak pucat. 


Semakin malam, rasa dingin semakin menusuk-nusuk kulit, seolah-olah jaket tebal tak mampu menahan dingin ini, tapi semangat dan kekompakan menghilangkan rasa cemas itu. Tepat pukul 23.00 WIB, para pendaki santri itu mulai keluar dari tenda mereka dan bergegas menyambut senja di puncak Mahameru. Rencana yang diatur sedemikian rupa, tidaklah selalu sesuai dengan kenyataan. Lika-liku perjalanan dan jurang dikanan-kiri menambah kehati-hatian mereka untuk melangkah. Berbeda dengan perjalanan dari Ranu Pani ke Ranukumbolo yang sedikit istirahat. Selain bima yang alergi dengan suhu dingin, ilham pun juga mengalami rasa sakit dibagian perutnya. Sehingga seringkali mereka berhenti ditengah perjalanan untuk beristirahat.
Akhirnya sampailah di Cemoro Kandang, batas pohon hijau dengan bebatuan dan pasir gunung Semeru. Track perjalanan yang awalnya landai menjadi curam 600, pijakan yang awalnya tanah padat berubah menjadi pasir hitam yang rawan sekali terjadi longsong. Merangkakpun sering kali mereka lakukan, untuk menjaga kesetimbangan. Angin dan badai silih berganti, berhenti di lereng yang curam menjadi pilihan untuk bertahan, sebagian pendaki mulai berputus asa dan turun sebelum sampai puncak, karena mereka takut di puncak badai besar dan tidak selamat dalam perjalan. Ketika melihat pendaki yang turun, menambah kecemasan fauzan dan bima, “mampu tidak kita sampai di puncak kawan?” sambil gemetaran fauzan berbicara dengan yang lain, “bismillah bisa” jawab ridwan dengan memberikan semangat.Tujuan kita mulia kawan, mengibarkan bendera dan menyampaikan salam kiai” saut hisam dengan nada wibawanya. Mulai perlahan dan merangkak mereka melanjutkan perjalanan, Senjapun mulai nampak, tapi puncak masih belum kelihatan. “semangat teman, sebentar lagi kita sampai puncak” teriak ilham, memberikan semangat untuk tetap bertahan dan terus berjalan.
Estimasi normal perjalanan ke pucak cuma 4-5 jam dari shelter Kali Mati, dengan mengawali berangkat jam 23.00, perkiraan sampai di puncak jam 4.an, akan tetapi sampai jam 5.15 masih berada diseparuh perjalanan yang curam itu. Sehingga terpaksa hisam mengintruksikan untuk shalat subuh di medan yang curam itu, dengan shalat lihurmatil wakti, tayammum, rukuk dan sujud yang tidak sempurna, karna dihawatirkan tidak bisa menjaga keseimbangan dan tergelincir jatuh.
Jas hujan tetap mereka gunakan untuk melindungi dari hujan yang sering kali datang dengan angin yang kencang dan bahkan air hujanpun seperti butiran es yang bening membuat rambut keras seperti Son Goku berubah menjadi super saiyan (Dragonball)… hhahaha. Gurawanpun tetap mereka lepaskan tuk menghilangkan rasa penat yang selalu menyelimuti. Tak seperti ekspektasi ingin berfoto berenam di puncak Mahameru dengan almamater kebanggaan dan bendera. Bima terpaksa turun, kembali ke shalter Kali Mati yang ditemani oleh fauzan, karena sudah tidak sanggup menahan dinginkan badai dan angin. Sedangkan sisanya masih berusaha untuk sampai di puncak, kabut putih selalu menghalangi pandangan dan batu-batu yang besar membatasi tolak ukur perjalanan ke puncak. “sedikit lagi kawan” hisam dan ridwan teriak memberikan semangat kepada yang lain. “semangat-semangat-semangat” sambung candra dengan bibir yang bergemetar kedinginan.
Tepat jam 8.00 hisam dan candra sampailah di puncak Mahameru, yang disusul oleh ridwan dan ilham. Senang, sedih dan terharu bercampur aduk, sampai air matapun tidak dapat terbendung. Dengan tali seadanya, bendera Jagad Alimussirry dipasang di tiang bendera merah putih, titik puncak Mahameru yang dibawahnya ada sedikit sesajen. Salam kiaipun mereka sampaikan di puncak Mahameru, dengan keinginan bisa mengajak temen-temen santri yang lain bersama-sama mendaki gunung, menikmati kedahsyatan ciptaan Sang Ilahi. Dengan harapan bendera Jagad Alimussirry tetap bertengger di tiang puncak Mahameru yang kemudian diganti dengan bendera yang baru, yang dibawa oleh para pendaki santri Jagad Alimussirry di kemudian hari.


 SAPALA (Santri Pencinta Alam) Jagad ‘Alimussirry
“Salam Lestari”
Ridwan: Imam Sya-Roni
Fauzan: Miftaqh Nur Farist
Hisam: Husni Mubarok
Candra: Rahmat Catur Abdian
Bima: Brilliyan Hadid S. P.
Ilham: Ikhsanudin Sukron

No comments:

Post a Comment