Apakah Sombong itu?
Sombong dalam bahasa Arab disebut dengan beberapa kata, yaitu al-kibru,
al-fakhru, al-‘ajabu, al-‘uzhmatu, at-ta’ajruf, at-taraffu’,
dll.. Namun, yang lebih familiar adalah kata al-kibru. Termasuk istilah
yang digunakan Rasulullah ketika menjelaskan definisi sombong adalah kata al-kibru.
Secara bahasa, al-kibru (sombong) artinya al-‘uzhmah yang berarti merasa mulia. Demikian yang dijelaskan Ibnu Manzhur dalam Lisanul ‘Arab.
Sedangkan secara istilah, definisi al-kibru bisa dilihat
dari hadits Rasulullah saw. berikut:
اَلْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ
النَّاسِ
“Sombong adalah menolak hak dan menyepelekan manusia” (H.R. Muslim dan Tirmidzi).
Dalam Ihya` Ulumuddin, Imam al-Ghazali mengartikan sombong sebagai
berikut:
اِسْتِعْظَامُ النَّفْسِ وَرُؤْيَةُ قَدْرِهَا
فَوْقَ قَدْرِ الْغَيْرِ
“Menganggap mulia dirinya dan melihat kemampuannya di atas
kemampuan orang lain”.
Inti dari definisi tersebut terletak pada dua hal, yaitu
menganggap diri lebih baik daripada orang lain dan menyepelekan atau menganggap
orang lain tidak ada apa-apanya.
7 Sebab Kesombongan
Imam al-Ghazali dalam Ihya` Ulumuddin menjelaskan ada tujuh hal
yang dapat mendorong seseorang berbuat sombong. Ketujuh hal tersebut antara
lain:
1. اَلْعِلْم (ilmu)
Sejatinya, seorang yang berilmu memiliki sikap rendah hati.
Semakin berisi semakin merunduk. Demikian falsafah padi mengajarkan. Namun,
memiliki ilmu terkadang membuat si pemilik ilmu menjadi sombong: merasa diri
paling pintar, merasa diri paling tahu, merasa diri paling paham. Orang lain,
dianggapnya tidak tahu apa-apa.
Oleh karena itu, seorang berilmu hendaknya hati-hati karena bisa
saja ilmu yang dimilikinya malah membuatnya angkuh. Kok bisa begitu? Ya, bisa
saja. Setan kan punya segudang cara untuk menjerumuskan manusia ke lembah dosa
dan maksiat? Termasuk menyusupkan kesombangan kepada orang berilmu. Maka, kita
berlindung kepada Allah dari hal yang demikian.
Sombong itu urusan hati, tetapi sombong bisa dilihat dari fisik
atau tampilan luar. Hanya saja, tidak selamanya fisik mencerminkan hati.
Misalnya, karena merasa tahu dan paham, seorang ‘alim menjawab pertanyaan
jama’ahnya dengan nada tinggi ditambah retorika dan mimik mukanya mencerminkan
ketidaktawadhuan. Orang berilmu seperti ini bisa saja sedang dihinggapi setan
dengan menunggangi kesombongan.
Jamaluddin bin Muhammad al-Qasimi dalam kitabnya Mau’izhatul
Hasanah min Ihya` ‘Ulumuddin menjelaskan bahwa dalam hal ilmu menjadi penyebab
kesombongan, ada dua faktor yang memungkinkan terjadinya kesombongan dengan
ilmu. Pertama, sibuk dengan ilmu, tetapi ilmunya bukan ilmu yang hakiki. Ilmu
yang hakiki sejatinya akan membuat seorang hamba mengenal Allah yang kemudian
ia memiliki rasa takut kepada Allah (khasy-yah). Kedua, menyelami ilmu
tetapi dengan cara yang tidak baik, hati yang kotor dan akhlak yang tercela.
Maka, ilmunya akan membuatnya sombong.
2. اَلْعَمَلُ وَالْعِبَادَةُ (amal dan
ibadah)
Penyebab kesombongan yang kedua adalah amal dan ibadah. Merasa
amal yang telah dilaksanakan begitu banyak, besar dan berharga, hati seseorang
menjadi angkuh. Ia menganggap orang lain tidak bisa beramal seperti yang ia
lakukan. Padahal, dalam hal ini Rasulullah saw. bersabda:
بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ
يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ
“Cukuplah seseorang dilabeli buruk ketika ia merendahkan
saudaranya yang muslim”. (H.R.
Muslim).
Selain itu, ketika ia melihat orang lain beramal dan beribadah, ia
merasa amal dan ibadahnya lebih baik daripada orang tersebut. Dengan hanya
rajin ke pengajian, ia merasa sudah cukup amalnya. Dengan tahajud setiap malam,
shadaqah rutin dan besar, umrah dan haji, ia merasa sudah mendapat kunci surga.
Kita harus hati-hati dari perasaan demikian. Hal seperti itu
merupakan bisikan setan agar amal dan ibadah kita menjadi rusak. Sudah
cape-cape beramal, ternyata amal menjadi rusak gara-gara kesombangan ketika
atau selepas beramal. Sedangkan kesombongan itu sama saja menghinakan diri di
hadapan Allah karena jelas-jelas tidak ada yang bisa menandingi Allah dalam hal
keutamaan dan kekuasaan.
3. اَلْحَسَبُ وَالنَّسَبُ (keturunan,
nasab)
Selanjutnya, kesombongan bisa saja timbul karena faktor keturunan
dan nasab keluarga. Memiliki orang tua sebagai tokoh besar suatu masyarakat,
seseorang busung dada ketika berhadapan dengan yang lain. Memiliki saudara yang
sukses berpendidikan tinggi, seseorang membangga-banggakan diri di depan
sahabat-sahabatnya.
Ini jelas tidak lah patut. Kenapa? Ya… bukan dirinya yang menjadi
tokoh besar tetapi orangtuanya. Bukan pula dirinya yang berpendidikan tinggi,
melainkan saudaranya. Lalu, bagaimana dengan dirinya? Apakah sudah melebihi
mereka atau minimal seperti mereka? Maka, kenapa harus sombong?
Dalam pelajaran Adabiyah (moral, etika), ada sebuah ungkapan:
لَيْسَ الْفَتَى مَنْ يَقُوْلُ كَانَ
أَبِي... لَكِنَّ الْفَتَى مَنْ يَقُوْلُ هَا أَنَاذَا...
“Bukanlah disebut pemuda yang mengatakan, ‘Inilah ayahku’… tetapi
pemuda itu adalah yang mengatakan, ‘Inilah aku’.”
4. اَلْجَمَالُ (ketampanan, kecantikan)
Menurut A, si Fulan itu tampan. Tetapi, B mengatakan biasa saja.
Menurut Abdullah si Fulanah cantik. Namun, Abdurrahman mengatakan
standar-standar saja. Nah, siapa yang benar? Si A atau B? ini tergantung
“selera”. Jadi, dua-duanya benar perspektif masing-masing.
Ilustrasi sederhana tersebut menunjukkan bahwa ketampanan dan
kecantikan tidak bisa menjadi standar atau ukuran mulianya seseorang. Oleh
karena itu, tidak sepatutnya ketampanan atau kecantikan menjadikan seseorang
angkuh karena tampan dan cantik bersifat nisbi (relatif). Namun, bisa saja
karena gangguan setan, seseorang sombong dengan tampilan fisiknya yang indah.
Setan akan terus menggoda anak Adam agar ketampanan dan kecantikan
yang dimilikinya ia pamer-pamerkan. Selain itu, orang lain dianggapnya tidak
lebih tampan atau cantik daripada dirinya, kemudian ia merasa gagah dengan
penampilannya.
Sebagai penguat, ada sebuah hadits yang berbunyi:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ
وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
“Sesungguhnya Allah tidak akan melihat bentuk rupa dan harta
kalian, tetapi Allah melihat kepada hati dan amal-amal kalian” (H.R. Muslim).
5. اَلْمَالُ (harta)
Harta adalah penyebab kesombongan selanjutnya. Selain sebagai alat
beribadah, harta bisa saja dijadikan alat oleh setan untuk menyusupkan
kesombongan ke dalam hati manusia. Kita harus berhati-hati dalam bab harta.
Harta itu fitnah (ujian) dan salah satu ujiannya adalah bisakah kita menjadi
tawadhu meskipun harta melimpah ruah? Bisakah kita menjadi sederhana seperti
Rasulullah yang kaya raya, tetapi Beliau tetap berpola sederhana? Informasi
tambahan, mahar Rasulullah ketika menikah dengan Khadijah sebanyak 20 ekor unta
merah yang per ekornya senilai Rp 434.178.200 – Rp 651.267.300. Total mahar
minimalnya berarti Rp 8.683.564.000 (8,6 Milyar).
Sebenarnya harta itu bukanlah milik kita, melainkan milik Allah
yang dititipkan kepada kita. Jadi, jika ada orang yang sombong dengan hartanya
yang melimpah, maka orang itu tidak tahu malu. Adéan ku kuda beureum.
Sekali lagi, mari berhati-hati agar harta yang dimiliki tidak
menjadikan kita berbangga diri alias sombong. tetapi, harta kita jadikan
sebagai alat beribadah, alat untuk masuk kedalam surga.
6. اَلْقُوَّةُ وَشِدَّةُ الْبَطْشِ (kekuatan,
kerasnya penindasan)
Penyebab kesombongan selanjutnya adalah kekuatan, kemampuan, dan
kehebatan yang dimiliki. Lagi-lagi kita harus ingat kepada Allah yang telah
menciptakan kita dengan segenap kemampuan dan keunikan. Sombong dengan
kemampuan diri, sama saja sombong dengan pemberian. Karena, kekuatan dan
kemampuan diri merupakan pemberian Allah.
Kita pun perlu berlindung diri kepada Allah agar ketika kita
memiliki skill mapan dalam hal tertentu, dalam dakwah, pendidikan,
bisnis, dll., kita tidak memiliki kesombongan di dalam hati.
7. اَلْأَتْبَاعُ وَالْأَنْصَارُ
وَالْعَشِيْرَةُ وَالْأَقَارِبُ (pengikut, penolong [backing], kelompok, kerabat)
Sebab yang terakhir adalah pengikut, backing, kelompok atau
kerabat dekat. Karena teman dekat adalah seorang pejabat atau anggota dewan,
lalu seseorang bebangga diri. Karena memunyai bodyguard yang gagah dan
berotot, seseorang kemudian membusungkan dada. Karena memiliki pengikut (umat)
yang banyak dan berstrata tinggi, seorang ustadz atau kiayi merasa diri sukses
dakwah. Semua ini adalah jebakan yang setan buat. Hati-hati merupakan sikap
terbaik dalam hal ini.
No comments:
Post a Comment