Ketajaman Gus Dur endus China
Aksi boikot guanxi terasa pasca
kerusuhan Mei 1998
Ahad pekan lalu masyarakat Indonesia
merayakan 40 hari wafatnya Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid.
Mantan orang No. 1 yang akrab disapa
Gus Dur itu meninggalkan kita pada 30 Desember 2009. Ia kembali ke bumi
pertiwi, tempat nenek moyangnya pada sekitar 1700-an menjejakkan kaki di
Jombang, Jawa Timur.
Salah satu citra Gus Dur yang tak mudah
lekang dari ingatan ialah tindakannya yang kerap out of the box. Lawatan ke
luar negeri pertama dilakukannya bukan ke Amerika Serikat atau Eropa, tetapi
justru ke Republik Rakyat China (RRC). Ini tidak biasa, sebab biasanya presiden
negara berkembang melawat ke negara adidaya, membangun persekutuan.
Banyak orang mencibir tindakannya waktu
itu (1999) karena dianggap nyleneh. Ketika konferensi pers pertama usai
terpilih jadi presiden, Gus Dur menjelaskan latar dan alasannya mengunjungi
China. "RRC negara besar dan sangat potensial dari segi ekonomi. Jadi,
kita justru rugi tidak berhubungan dengan China," tegasnya.
Dalam konferensi itu pula, seorang
wartawan istana sempat nyeletuk, dengan membeberkan sejarah diplomasi RI-RRC
yang tidak begitu mulus sejak 1965. Gara-garanya, Peking (sekarang Beijing)
diduga kuat oleh pemerintah Orba terlibat dalam G-30-S/PKI, terutama karena
menyuplai senjata untuk membantu pemberontakan PKI waktu itu.
Lagi-lagi, Gus Dur menepis,
keterlibatan RRC itu hanya sebatas asumsi, belum tentu benar. Berdasarkan
alasan rasional sebagaimana yang dikemukakannya, Gus Dur justru balik bertanya,
"Kalau kini saya membuka kembali hubungan dengan China, mengapa tidak
boleh?"
Gus Dur tetap Gus Dur, sulit dibaca dan
ditebak. Ia kokoh dalam pendirian dan terus ngotot pada keyakinan yang dianggap
benar.
Hubungan khusus
Secara genealogis, Gus Dur mempunyai
hubungan khusus dengan China. Sejarah mencatat, salah seorang keturunan raja
Majapahit pernah mempersunting putri raja Campa. Dari buah perkawinan itu,
lahirlah Tan Kim Ham, alias Abdul Kadir. Dari garis keturunan Abdul Kadir lahir
Sunan Ampel yang melahirkan K.H. Hasyim Asyari, kakek Gus Dur. Ini dicatat
dalam buku Yan Bin's Genealogy 1770-2004 (2004) yang diterbitkan Paguyuban
Keluarga Keturunan Gan, di mana Gus Dur dan Yenny Wahid aktif di dalamnya.
Itulah sebabnya, Gus Dur membela
mati-matian etnis China yang, ketika Orde Baru berkuasa, secara politis
dipinggirkan. "Orang yang membenci etnis Cina tidak tahu sejarah. Sebab
kalau mau ditelusuri, kita semua keturunan China," kata Gus Dur waktu itu.
Pernyataan Gus Dur kontan membuat orang
terperangah. Maka ia pun menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional. Dan
membolehkan kembali simbol serta atribut China berkibar di Nusantara.
Namun, Gus Dur mengajak bangsa
Indonesia rekonsiliasi dengan China bukan semata-mata karena ia sendiri
keturunan China. Lebih dari itu. Gus Dur melihat, pada masa-masa mendatang
China sebagai suatu jaringan (networking/guanxi) perlu dirangkul untuk
membangun kembali perekonomian Indonesia yang baru saja dilanda krisis hebat.
Dan kini, ketika area perdagangan bebas
Asean-RRC dibuka, hubungan dengan China tidak bisa dinafikan. Gus Dur sudah
sejak awal menyiapkan masuknya pengaruh China, bukan saja dari sisi budaya, tapi
juga ekonomi dan bisnis.
Gus Dur mafhum, sebagai guanxi,
kekuatan China sangat diperhitungkan di mana-mana, di seantero dunia. Studi
tentang hal ini, antara lain dilakukan Gary Hamilton (1989). Ia sampai pada
simpulan, guanxi memainkan peranan besar dalam kapitalisme di tiap-tiap
negara-negara (waktu itu disurvei negara-negara industri baru atau NICs).
Bahkan futurolog John Naisbitt melihat
guanxi adalah model kapitalisme di Asia. Dalam buku Megatrends Asia (1996)
Naisbitt menyebut kecenderungan besar akan terjadi di Asia, yaitu adanya
perubahan paradigma negara-bangsa (nation state) menuju networking.
Seperti juga Gary Hamilton dan
Niasbitt, Gus Dur pun meyakini guanxi. Itu sebabnya, ketika orang ramai-ramai
mengiritik ia banyak menghabiskan waktu untuk berkunjung ke luar negeri, Gus
Dur enteng menjawab bahwa orang yang mengritiknya tak paham apa yang
dikerjakannya. Atas kritikan itu, Gus Dur bergeming dan tetap pada
pendiriannya: kalau mau selamat, guanxi perlu dirangkul.
Keyakinan diimbuh data dan fakta,
membuat Gus Dur memprioritaskan kunjungannya ke China. Kunjungan itu,
mencairkan kembali hubungan diplomatik Indonesia-RRC, setelah sekian lama beku
akibat kebijakan politik luar negeri Indonesia semasa Orba. Sekaligus Gus Dur
menepis opini umum yang mengatakan, selama ini Indonesia secara sistematis
telah melakukan diskriminasi rasial.
Apalagi, kerusuhan Mei 1998 seakan-akan
membenarkan, memang terjadi apa yang disebut sebagai gerakan etnic cleansing
(peminggiran etnis) China di Indonesia.
Aksi boikot para guanxi sangat kita
rasakan pascakerusuhan Mei 1998. Ratusan triliun rupiah dana segar milik para
taipan, yang notabene keturunan Cina, keluar dari Indonesia saat itu. Ini
membuat ekonomi kita yang terpuruk sejak 1997 jadi makin ambruk karena adanya
capital outflow.
Pelarian modal keluar negeri ini,
antara lain ke Singapura, Hong Kong, Taiwan, dan RRC sendiri; selain sebagai
akibat perasaan was-was akan situasi di Indonesia, juga sebagai aksi protes
atas dugaan praktik "etnic cleansing" yang dirasakan kaum minoritas
pada Tragedi Mei 1998.
Dana segar itu, kemudian menumpuk di
Singapura. Dengan mudah membuat para guanxi "mengobok-obok" rupiah,
sehingga nilai tukar atas US$ semakin anjlok. Kejadian itu membuat kita merasa
kecil di hadapan sebuah jaringan bernama guanxi, sekaligus menjadi warning bagi
kita untuk tidak memandang sepele etnis China lagi di bumi pertiwi karena
mereka memiliki jaringan luar biasa.
Masih segar dalam ingatan kita, usai
tragedi Mei 1998, sebagai ketua PBNU waktu itu, Gus Dur menyerukan kepada
keturunan China yang berada di luar negeri untuk segera kembali ke Indonesia.
Gus Dur juga menjamin keselamatan mereka. Dan kepada warga pribumi, dihimbau
agar mau membaur dengan warga keturunan.
Rekonsiliasi nasional yang sejak awal
dikumandangkan Gus Dur, semakin mendapatkan implementasinya begitu ia dipilih
jadi presiden. Untuk memulihkan ekonomi nasional, langkah pertama yang ia
lakukan adalah memanggil kembali para pemilik modal agar mau berinvestasi di
Indonesia. Gus Dur yakin, suatu pemerintahan yang tidak menerapkan politik
rasialis, akan membuat para guanxi merasa aman menanam modal di Indonesia.
Ini pertimbangan ekonomis kunjungan
beliau ke China. Dan waktu kemudian membuktikan, Gus Dur yang dianggap nyleneh,
ternyata benar. Ia seorang visioner. Butuh waktu 10 tahun agar mata awam
tercelik melihat apa yang ia lakukan.
Oleh R. Masri Sareb Putra
Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas Multimedia Nusantara
No comments:
Post a Comment