Assalamualaikum kawan-kawan,…
Di pagi yang cerah ini, ku mulai hariku
dengan berolahraga di lapangan futsal kampus National Taiwan University of Science and Technology (NTUST) untuk
bermain futsal bersama dengan teman-teman Indonesia. Hari itu tepat tanggal 28
Februari 2020 merupakan hari libur nasional negara Taiwan “Peace Memorial Day”, sehingga kampus dan sekolah pada libur, Yeaahh….
tepatnya hari jumat. Matahari yang mulai menyinsing itu membuat tubuh kami
berkeringat dan kepanasan. Walaupun masih musim dingin peralihan ke musim semi,
pagi itu matahari terasa terik sekali dibading kemaren-kemaren yang sempet
hujan.
Permainan futsal usai jam 10, kamipun
kembali ke asrama tuk sarapan dan bersih diri. Saya pribadi masak nasi dan cuci
pakaian, kemudian bersiap-siap berangkat ke masjid, tuk melaksanakan shalat Jum’at.
Di negara Formosa ini tidak seperti Indonesia, yang dimanapun kita berada dapat
mendengarkan suara adzan. Disini kami hanya bisa mendengarkan suara adzan di
dalam masjid, karena pengeras suara tidak diperboleh menggangu tetangga, jadi
setiap masjid di Taiwan hanya menggunakan loudspeaker
dalam untuk pengeras suaranya.
Bersyukurlah kalian yang berada di
daerah mayoritas muslim, karena kalian akan setiap saat mendapatkan panggilan
dari Sang Maha Memiliki tuk menunaikan ibadah. Maka dari itu manfaatkan untuk
ibadah on time dengan maksimal. Beda
dengan kami yang berada di daerah minoritas ini, yang selalu harus waspada dan
siap siaga untuk save diri. Mulai
dari makanan, pakaian dan ibadah kami.
Untuk shalat berjamaah di negri Formosa
ini sangatlah sulit, kalau kita tidak punya teman akrab sesama muslim atau
berada di masjid dan mushalla. Karena jumlah masjid di negara ini sangatlah
sedikit. Untungnya saya berada di pusat ibu kota negara Taiwan, sehingga jarak
dari kampus ke masjid besar (Taipei Grand
Mosque) dibilang dekat, walaupun kalau jalan kaki butuh waktu setengah jam
untuk sampai di masjid besar Taiwan, tapi saya sangat bersyukur, dibandingkan
dengan saudara muslim lainnya, yang perlu naik bus atau kereta untuk ke masjid
dalam waktu yang cukup lama, dan ada juga yang tidak bisa ikut shalat Jum’at
karena pekerjaan dan jarak yang lumayan jauh dari masjid.
Kembali ke bahasan awal, dimana
sebenarnya saya ingin berbagi cerita tentang kekuasaan Allah dan kasih
sayangnya-Nya yang saya saksikan di hari jum’at itu. Tepatnya jum’at ke tiga saya di negeri ini,
dua jum’at sebelumnya, jumlah Jemaah tidak terlalu banyak. Saya dan temanpun
masih bisa masuk ke dalam masjid dan menempati shaff depan, akan tetapi pada
jum’at ketiga ini jumlah jemaah sangat banyak. Biasanya sebelum khutbah, di
dalam masjid masih banyak yang longgar, tapi pada hari itu sebelum khutbah,
takmir masjid sudah menggelar tikar dan sajadah besar di halaman masjid. Karena
di dalam dan serambi sudah penuh.
Jam 10 selesai kami main futsal, panas
matahari cukup menyengat, diperkirakan ketika siang sekitar jam 12 sinar
matahari akan membuat kulit kepanasan. Akan tetapi hal ini tidak terjadi,
mendekati waktu masuk shalat jum’at, sebelum khotib naik ke mimbar, langit
diatas masjid Taipei Grand Mosque berawan
agak gelap, tapi tidak hujan. Sehingga para jemaah yang di halaman masjid tidak
merasa kepanasan seperti ikan di jemur. Alhamdulillah, puji syukur kepada Allah
yang bisa menggerakkan awan-awan tersebut memayungi para jemaah, dimana durasi
khutbahnya kurang lebih 30 menit. Lumayan kalo misal gak ada awan, para jemaah seperti
dijemur diterik matahari di siang bolong.
Setelah khutbah
selesai kemudian melanjutkan shalat jum’at berjemaah. Uniknya ditengah-tengah
shalat, awan yang memayungi Jemaah pada kabur entah kemana, sehingga para jemaah
merasa kepanasan, termasuk saya yang juga shalat di bagian halaman masjid.
Panas yang menyengat kulit itu membuat sebagian jemaah setelah shalat langsung
bubar, karena kepanasan dan juga berada di tengah jalan, dan sayapun juga
bergegas pindah tempat. Ketika melihat masjid dan para jemaah dari kejauhan,
hati merasa terenyuh, karena masih diberi kesempatan dan kesehatan tuk
menunaikan ibadah dan bertemu dengan saudara-saudara muslim yang lain dari
berbagai negara.
Setiap kondisi itu akan bisa kita nikmati ketika kita
berfikir dan merasakannya, yang pada intinya mengajak kita tuk terus bersyukur
atas setiap kejadian dan apa yang kita miliki.
Ilmu hikmah, mungkin itu lebih tepatnya
yang perlu kita pelajari. Supaya kita bisa mentafakkuri setiap kejadian yang
menimpa kita dan orang lain. Ada tiga poin yang saya ambil dari kejadian di
masjid besar Taipei, 1) kasih sayang Allah yang diberikan kepada kaum muslim
minoritas tuk terus beribada, walaupun banyak tantangan menghambat, 2) ini
masih sebagian yang sangat kecil sekali, panas yang dirasakan ketika shalat
jumat, jika di bandingkan dengan para sahabat yang berperang di terik panas
padang pasir dan mereka sedang berpuasa, 3) kebahagiaan yang tidak dapat diukur
dengan rasional ekonomi, ketika bertemu dengan saudara-saudara muslim dinegeri
minoritas (mungkin kalian yang masih berada di negara mayoritas islam,
khususnya Indonesia tidak merasakan hal ini. Maka dari itu cobalah ke luar
negeri, ketempat tidak ada suara adzan berkumandang).
Sekilas cerita di negeri minoritas, ini
masih cerita satu hari saja di negeri Formosa. Semoga bisa berbagi cerita-cerita
menarik lainnya di lain kesempatan, terimakasih sudah membaca, sampai jumpa di
cerita selanjutnya.
Wassalamualaikum, Wr. Wb.
Alhamdulillah.. Lanjutkan menulis cerita kawan 👍
ReplyDeleteokee kawan, terimakasih atas dukungannya...
ReplyDelete