Oleh: H.
Mubarok
Dikutip langsung dari Majalah Waliyul ‘Azhim edisi 004, hal. 27-29
https://jagadalimussirry.com/majalah/
Dikutip langsung dari Majalah Waliyul ‘Azhim edisi 004, hal. 27-29
https://jagadalimussirry.com/majalah/
Berawal dari obrolan ringan dua santri disela-sela menunggu ustadz datang, mereka adalah ridwan dan fauzan yang berkeingan untuk muncak bareng. “fauzan, muncak yukk...” ridwan memulai obrolan dengan santai, “ayoook, nanti aku mau ngajak temen-temen jurusanku” saut fauzan dengan nada senang. “yaa, aku juga” jawab ridwan. Kemudian mereka melanjutkan obrolan sambil membahas tentang kitab ngaji, dan datanglah ustadz Muhib yang membuyarkan obrolan mereka.
Perbincangan mereka dilanjutkan dipertemuan ngaji selanjutnya. “jadi
nggak yang mau muncak” fauzan mengawali pembicaraan” “pasti donggg” jawab
ridwan. “muncak kemana nihh..?” sambung hisam yang tertarik dengan obrolan mereka
berdua. “Semeru sam, gunung tertinggi di
pulau jawa itu lhoo….”jawab fauzan. Kemudian mereka mulai merencanakan
persiapan muncak dan menyebutkan nama-nama yang akan diajak muncak. Singkat
cerita satu persatu dari list nama
yang mereka ajak tidak bisa ikut, dan pada akhirnya hisam punya ide untuk
mengajak temen-temen santri untuk naik gunung. Mereka yang berkesempatan bisa
ikut yaitu bima, ilham dan candra.
Semua perlengkapan sudah mulai mereka cicil untuk dipersiapkan, mulai dari
tenda, tas, sepatu sampai obat-obat P3K. Untuk sampai di puncak Mahameru membutuhkan
waktu minimal dua hari dari basecamp.
Sehingga jika di hitung pulang-pergi memakan waktu empat hari, ditambah
perjalanan dari Surabaya ke Lumajang dua hari,
total enam hari yang mereka butuhkan untuk bisa mendaki gunung Semeru. Mereka mengatur jadwal sedemikian rupa,
mengubah jadwal janjian dan rapat-rapat dengan temen-temen organisasi, layaknya pejabat yang ingin tugas ke luar
kota, wwkwkwk…
30 Desember 2019, mereka berenam
berangkat dari Surabaya, rute yang mereka pilih untuk ke Ranu Pani (basecamp sebelum pendakian) yaitu
melalui jalur Malang, karena mereka masih
membutuhkan pinjaman tenda ke teman bima di daerah kota batu. Perjalanan mereka tempuh dengan rasa khawatir
hujan, karena sepanjang perjalanan diselimuti mendung hitam. Dan akhirnya mereka sampai di Ranu Pani jam 10 malam. Basic santri tetap melekat, walaupun
di Ranu Pani disediakan tempat untuk beristirahat, mereka lebih memilih tidur di
masjid, supaya shalat subuhnya lebih mudah dan enak untuk movingnya.
Senja mulai tampak, perlahan matahari mulai menyingsingkan sinarnya. Para
pendaki mulai bersiap ke loket
pembayaran dan briefing sebelum
pemberangkatan. Sebelum memulai perjalanan, ridwan yang sudah berpengalaman mendaki gunung, memandu teman-teman untuk berdoa bersama dan
memberikan pesan-pesan. “tujuan kita adalah pulang dengan selamat, puncak
adalah bonus, tapi kita harus optimis tuk bisa sampai di puncak Mahameru dan
mengibarkan bendera kita tercinta PPJA” Ucap ridwan dengan semangat,
temen-teman dengan serentak menjawab “Siap, Bismillah, insyaAllah puncak” seolah-olah sudah
direncanakan kalimat itu muncul dari masing-masing lidah mereka.
Keenam santripun berangkat
dari Ranu Pani menuju Ranukumbolo, yang merupakan surga Mahameru, danaunya para dewa dalam
keyakinan agama Hindu setempat. Track perjalanan ke Ranukumbolo tidaklah curam, akan tetapi jaraknya yang jauh membutuhkan
waktu rata-rata pendaki 5-6 jam perjalanan. Tegur sapa dengan pendaki lain
membuat perjalanan semakin asyikk, itulah yang dirasakan hisam dan candra yang
merupakan pendaki pemula, tapi nekat langsung mendaki gunung tertinggi di pulau
Jawa. Lalu lalang para pendaki layaknya
semut yang saling memberikan motivasi dan semangat untuk terus melangkahkan
kaki, walaupun rasa capek selalu membayang-bayangi otot-otot tubuh mereka.
Singkat cerita sampailah mereka di shelter
pertama pendakian Semeru, yaitu di Ranukumbolo, yang
bertepatan dengan malam pergantian tahun 2018 ke 2019. Hiruk pikuk kegembiraan
meramaikan malam yang sunyi sepi di hutan, layaknya bumi perkemahan. Tanah
lapang dipenuhi dengan tenda-tenda yang menghiasi cantiknya danau Ranukumbolo. Keesokan harinya kami melanjutkan perjalanan
ke shelter kedua daerah Kali Mati, tempat
yang jauh dari sumber air, perlu perjalanan dua kilometer untuk mendapatkan air
yang alirannya tidaklah begitu deras. Tanpa air segala aktivitas akan
terhambat, karena air menjadi kebutuhan primer para pendaki. Rasa sakit dan
gelisa dialami oleh bima yang memiliki alergi dengan suhu dibawah normal, untuk
menghidari rasa cemas dari teman-temannya, dia mampu menahan rasa sakit itu dan menyembunyikan dengan kata “tidak
apa-apa, Cuma sakit perut biasa kok” ketika
ditanya temennya saat dia tampak pucat.
Semakin malam, rasa dingin semakin menusuk-nusuk kulit, seolah-olah jaket tebal tak mampu menahan dingin
ini, tapi semangat dan kekompakan menghilangkan rasa cemas itu. Tepat pukul
23.00 WIB, para pendaki santri itu mulai keluar dari tenda mereka dan bergegas
menyambut senja di puncak Mahameru. Rencana yang diatur sedemikian rupa, tidaklah selalu sesuai dengan kenyataan. Lika-liku perjalanan dan jurang dikanan-kiri menambah
kehati-hatian mereka untuk melangkah. Berbeda
dengan perjalanan dari Ranu Pani ke Ranukumbolo
yang sedikit istirahat. Selain bima yang
alergi dengan suhu dingin, ilham pun juga mengalami rasa sakit dibagian perutnya. Sehingga seringkali mereka
berhenti ditengah perjalanan untuk beristirahat.
Akhirnya sampailah di Cemoro Kandang, batas pohon hijau dengan bebatuan dan pasir gunung Semeru. Track perjalanan yang awalnya landai
menjadi curam 600, pijakan yang awalnya tanah padat berubah menjadi
pasir hitam yang rawan sekali terjadi longsong. Merangkakpun sering kali mereka
lakukan, untuk menjaga kesetimbangan. Angin dan badai silih berganti, berhenti
di lereng yang curam menjadi pilihan untuk bertahan, sebagian pendaki mulai
berputus asa dan turun sebelum sampai puncak, karena mereka takut di puncak
badai besar dan tidak selamat dalam perjalan. Ketika melihat pendaki yang
turun, menambah kecemasan fauzan dan bima, “mampu tidak kita sampai di puncak
kawan?” sambil gemetaran fauzan berbicara dengan yang lain, “bismillah bisa”
jawab ridwan dengan memberikan semangat. “Tujuan kita mulia kawan,
mengibarkan bendera dan menyampaikan salam kiai” saut hisam dengan nada
wibawanya. Mulai perlahan dan merangkak mereka melanjutkan perjalanan, Senjapun mulai nampak, tapi puncak masih belum kelihatan. “semangat teman,
sebentar lagi kita sampai puncak” teriak ilham, memberikan semangat untuk tetap
bertahan dan terus berjalan.
Estimasi normal perjalanan ke pucak cuma 4-5 jam dari shelter Kali
Mati, dengan mengawali berangkat jam 23.00,
perkiraan sampai di puncak jam 4.an, akan tetapi sampai jam 5.15 masih berada diseparuh perjalanan yang curam itu. Sehingga terpaksa
hisam mengintruksikan untuk shalat subuh di medan yang curam itu, dengan shalat lihurmatil wakti, tayammum, rukuk
dan sujud yang tidak sempurna, karna dihawatirkan tidak bisa menjaga
keseimbangan dan tergelincir jatuh.
Jas hujan tetap mereka gunakan untuk melindungi dari hujan yang sering kali
datang dengan angin yang kencang dan bahkan air hujanpun seperti butiran es
yang bening membuat rambut keras seperti Son Goku berubah menjadi super saiyan (Dragonball)… hhahaha.
Gurawanpun tetap mereka lepaskan tuk
menghilangkan rasa penat yang selalu menyelimuti. Tak seperti ekspektasi ingin
berfoto berenam di puncak Mahameru dengan almamater kebanggaan dan bendera.
Bima terpaksa turun, kembali ke shalter
Kali Mati yang ditemani oleh fauzan, karena sudah tidak sanggup menahan
dinginkan badai dan angin. Sedangkan sisanya masih berusaha untuk sampai di
puncak, kabut putih selalu menghalangi pandangan dan batu-batu yang besar
membatasi tolak ukur perjalanan ke puncak. “sedikit lagi kawan” hisam dan
ridwan teriak memberikan semangat kepada yang lain.
“semangat-semangat-semangat” sambung candra dengan bibir yang bergemetar
kedinginan.
Tepat jam 8.00 hisam dan candra sampailah di puncak Mahameru, yang disusul oleh ridwan dan ilham. Senang, sedih dan terharu bercampur aduk, sampai air matapun tidak
dapat terbendung. Dengan tali seadanya, bendera Jagad Alimussirry dipasang di tiang bendera merah putih, titik
puncak Mahameru yang dibawahnya ada sedikit sesajen. Salam kiaipun mereka
sampaikan di puncak Mahameru, dengan keinginan bisa mengajak temen-temen santri yang lain bersama-sama mendaki gunung, menikmati kedahsyatan ciptaan Sang Ilahi. Dengan harapan bendera
Jagad Alimussirry tetap bertengger di tiang puncak Mahameru yang kemudian
diganti dengan bendera yang baru, yang dibawa oleh para pendaki santri Jagad
Alimussirry di kemudian hari.
SAPALA (Santri Pencinta Alam) Jagad ‘Alimussirry
“Salam Lestari”
Ridwan: Imam Sya-Roni
Fauzan: Miftaqh Nur Farist
Hisam: Husni
Mubarok
Candra: Rahmat Catur
Abdian
Bima: Brilliyan
Hadid S. P.
Ilham: Ikhsanudin
Sukron
No comments:
Post a Comment